Gereja di Tengah Demokratisasi

10 Juli 2009
Oleh Arie Saptaji

Hembusan angin demokratisasi terasa kian kuat seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru di negeri ini. Banyak harapan disampaikan pada pemerintahan baru kita. Namun, sepatutnya kita juga menyadari, ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dibebankan kepada pemerintah, dan memang bukan wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Dalam konteks ini, sumbangan apakah yang dapat diberikan gereja bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?

Dalam sebuah kesempatan Nurcholish Madjid menyatakan, “Ini (Indonesia) adalah negara lunak. Lunak apabila dilihat dari segi moral dan etika. Inilah bangsa yang tidak tahu orientasi tentang baik dan buruk.” Dalam persoalan moral dan etika inilah, gereja sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15) dapat memberikan sumbangan nyata.

Pertama, gereja perlu mendukung agar semangat demokratis yang mulai terbangun ini terus terpelihara dan berkembang. Demokrasi memang bukan bentuk pemerintahan yang diidealkan Alkitab. Karenanya, tetap diperlukan adanya rambu-rambu pengaman. Dalam masyarakat demokratis, diharapkan adanya pengertian dan toleransi terhadap kelompok minoritas serta upaya mengakomodasi kepentingan berbagai golongan. Hal ini diwujudkan dalam suatu kerangka kerja yang mantap, yang memungkinkan kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan beragama dan kemerdekaan-kemerdekaan dasar lainnya dilindungi. Gereja menjalankan fungsinya sebagai garam dan terang dengan memperjuangkan terjaminnya hak-hak tersebut. Secara spesifik, gereja diminta untuk berdoa syafaat bagi pemerintah, “agar kita dapat hidup tenang dan tenteram dalam segala kesalehan dan kehormatan” (1 Timotius 2:1-2).

Secara intern, gereja harus menggiatkan pembinaan moral dan etika warganya, dengan menjalankan apa yang diembankan dalam Amanat Agung, yaitu pemuridan. Ini seperti langkah yang diambil Raja Yosafat untuk mengokohkan kerajaannya. Ia mengutus beberapa pembesar dan orang Lewi untuk “memberikan pelajaran di Yehuda dengan membawa kitab Taurat Tuhan. Mereka mengelilingi semua kota di Yehuda sambil mengajar rakyat” (2 Tawarikh 17:9). Ia menyadari, kebenaran firman Tuhanlah yang akan menuntun rakyatnya menjadi warga yang cakap, takut akan Tuhan, penuh integritas – singkatnya, bermoral kuat. Dan kualitas moral warga negaralah yang pada akhirnya menentukan kekuatan suatu bangsa. Begitu pula, bila gereja bertekun dalam pemuridan dan pemberitaan firman Tuhan, akan muncul orang-orang Kristen yang bertanggung jawab dan terlibat aktif dalam perubahan masyarakat menuju Indonesia baru.

Selanjutnya, gereja perlu mengedepankan suara profetisnya untuk menunjang pembinaan moral dan etika bangsa. Bila dicermati, isu moral dan etika ini justru tidak banyak digulirkan di tengah euforia reformasi. Memang, gerakan mahasiswa sering diacu sebagai gerakan moral, namun bagaimana implementasi dan tindak lanjutnya belum jelas. Atau, secara implisit, persoalan moral dan etika dianggap akan bisa tertata dengan sendirinya seiring dengan pemulihan ekonomi, politik dan hukum. Seharusnya justru sebaliknya.

Kita lihat salah satu agenda reformasi, yaitu ditegakkannya supremasi hukum. Supremasi hukum saja, tanpa landasan moral yang kukuh, tidak memadai. Sesuatu yang legal secara hukum tidak dengan sendirinya benar. Moralitas tidak didikte oleh ketaatan hukum; moralitas berbicara tentang melakukan apa yang benar. Peradaban yang tidak berdasarkan hukum akan terperosok ke dalam despotisme dan tirani. Namun, peradaban yang tidak sanggup mengatasi hukum untuk hidup bukan hanya menurut legalitas, namun juga menurut moralitas, sudah kehilangan harkat kemanusiaannya dan kehilangan potensinya untuk mencapai kebesaran yang sesungguhnya.

Mengingat kesenjangan antara legalitas dan moralitas tersebut, dalam mendukung hak-hak asasi manusia, gereja melakukannya berdasarkan pijakan yang sama sekali berbeda dari masyarakat sekuler. Di tengah alam demokrasi sekalipun, tidak semua isu patut untuk diputuskan secara demokratis. Akankah, misalnya, kita melegalkan aborsi bila 51% suara setuju? Kita pun acap menjumpai peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan yang bertabrakan dengan standar firman Tuhan. Untuk itu, gereja perlu memberikan check and balance bagi pemerintah. Bila ada perundang-undangan yang bertentangan dengan firman Tuhan, orang-orang percaya seharusnya menggunakan kemerdekaan dan kesempatan yang diberikan Allah untuk berseru, “Hai negeri, negeri, negeri! Dengarlah firman Tuhan!” (Yeremia 22:29). Firman Tuhan memberikan apa yang oleh Cak Nur disebut orientasi tentang baik dan buruk.

Jelaslah, angin demokratisasi bukan sinyal untuk berleha-leha, melainkan sebuah pintu kesempatan untuk melayani kehendak Allah dalam generasi kita secara lebih efektif. Perlu ditegaskan sekali lagi, ada hal-hal yang tidak bisa ditangani pemerintah karena memang bukan wewenang dan tanggung jawabnya -- dalam konteks ini adalah membina kualitas moral warganya. Untuk itulah gereja harus bangkit menjalankan peran dan tanggung jawabnya. ***

Dikutip dari "Gagal Menjadi Garam" (Yogyakarta: PBMR A)NDI, 2002.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.