Indonesia RAYA 2020

10 Juli 2009
Oleh Sansulung John Sum

John F Kennedy (Inaugural Speech):
“If a free society cannot help the many who are poor, it cannot save the few who are rich.”

Apa harapan Anda untuk Indonesia pada tahun 2020? Pilpres 2009 telah berlangsung pada tanggal 8 Juli lalu. Hasil sementara mengindikasikan bahwa incumbent memenangkan 60% dari suara sah, walaupun bukan 60% dari voters.

Dalam dua kesempatan yang berbeda, dua minggu sebelum pilpres, saya mengobrol dengan beberapa orang teman, Yunus, Bram, dan lain-lain. Saat itu, saya katakan SBY-Boediono sudah pasti akan menang dan hasil yang bagus adalah sekitar 60 berbanding 40. Mengapa?

Pertama, tentunya kita bersepakat bahwa pemerintahan yang kuat butuh pengimbang yang cukup tangguh juga agar pengalaman masa silam jangan terulang kembali. Adanya oposisi bukan hanya menguntungkan rakyat, tetapi juga menguntungkan pemerintah itu sendiri agar tidak terlena dengan kekuatan dan kehendaknya sendiri.

Bukankah berbicara mengenai oposisi itu berbicara tentang kekuatan di DPR? Benar. Tampaknya Gerindra paling siap menjadi oposisi. Bersama PDI-P, mereka mungkin akan tetap menjalin koalisi ideologis. Di pihak lain, Demokrat telah menghimpun koalisi berkekuatan 56% pemenang pileg (bakal DPR baru), yakni bersama PKS, PAN, PPP, dan PKB (non-Gus Dur).

Dari pengalaman periode sebelumnya, koalisi tidak selalu satu suara dalam berbagai kebijakan pemerintah. Bahkan, diakui oleh pemerintah, bahwa adakalanya justru oposisilah yang mendukung kebijakan tertentu dari pemerintah sedangkan dari koalisi ada kelompok yang menentang kebijakan tersebut. Oleh karena itu, Demokrat pasti akan mengajak kekuatan lain yang belum bergabung.

Kedua, dengan hasil pilpres yang seperti itu, Demokrat akan merangkul Golkar kembali, sehingga menambah kekuatan nasionalis dalam koalisinya yang terlanjur Islam-heavy. Tidak sulit untuk merealisasikan hal ini. Dengan kekalahan Jusuf Kalla, Golkar butuh “investor” baru. Sementara itu, pendukung SBY di Golkar, yakni Aburizal Bakrie, tampaknya sudah bersiap-siap untuk menduduki kursi ketua umum Golkar. Dengan kekuatan tambahan 16% dari Golkar, koalisi Demokrat mencapai 72%. Jumlah ini cukup untuk mengantisipasi kelompok tertentu yang mungkin membelot dalam merespon kebijakan-kebijakan tertentu.

Selain itu, SBY pun tampaknya menyadari bahwa kemenangan 60% dalam pilpres itu bukan kekuatan real. Perhitungan yang lebih teliti menunjukkan hasil: Mega-Prabowo 21%, SBY-Boediono 44%, JK-Wiranto 10%, Golput 25%. Maka, dengan merangkul Golkar, cukuplah kekuatan untuk menjalankan program-program pemerintah 5 tahun ke depan.

Nah, yang perlu disorot kini adalah program-program yang bagaimanakah yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan baru? Jika menilik slogan kampanye mereka, tampaknya memang kebijakan-kebijakan pada periode sebelumnya akan dilanjutkan. Jadi, sulit untuk membayangkan pemerintahan baru akan meninggalkan model kebijakan yang sudah berlangsung puluhan tahun dalam sejarah Republik Indonesia “merdeka”.

Bagi kita, TERMASUK SAYA, tampaknya akan semakin DIUNTUNGKAN dengan berlanjutnya kebijakan neoliberalisme. Namun, apakah kita ngeh bahwa bertahun-tahun mendatang masih berlimpah ruah objek yang tersedia bagi Helmy Yahya untuk reality show “Bedah Rumah”. Bukan hanya ribuan, tetapi PULUHAN JUTA rumah tangga seperti itu masih akan kita temui di nusantara sepanjang pemerintah tidak mengubah haluan dari kebijakan neolib.

Sejatinya, rakyat melarat bukan membutuhkan sumbangan sekadarnya dari kita. Namun, mereka harus memperoleh kembali hak-hak mereka atas kekayaan nasional anugrah Tuhan, namun terampas oleh pelaku penjajahan gaya baru. Memang nusantara tidak lagi ditindas VOC, karena company (baca: kompeni) yang seperti itu kini memakai wajah baru dengan beragam kaki tangannya (bacalah dokumen resmi CIA dan buku pengakuan orang dalam World Bank, serta paparan Kwik kian Gie di koraninternet).

George Soros juga menyorot hal ini secara tajam. Menurutnya, fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik manapun yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis, dan naif. Namun, sebenarnya, fundamentalisme pasar itu sendirilah yang naif dan tidak logis.

Dedengkot investor kelas dunia itu yakin bahwa apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan dapat pada akhirnya menuju pada hancurnya tatanan kapitalisme global. Kali ini, bahayanya bukan dari komunisme, tetapi dari fundamentalisme pasar.

Well, bagaimanapun, pemerintahan baru yang terpilih secara konstitusional ini masih pantas kita dukung untuk meminimalkan kebocoran kekayaan nasional yang tengah berlangsung. Sementara itu, kita juga menitipkan aspirasi ekonomi kerakyatan dan berharap pemerintah dapat sungguh-sungguh mengembannya. Jika ada kebijakan yang sangat-sangat merugikan rakyat, oposisi harus tegas melaksanakan tugasnya. Jadi, tulisan ini jauh dari maksud menggoyang pemerintahan baru. Apalah kekuatan kita. Tulisan ini hanya menggelitik untuk berpikir dalam gambaran besar dan melihat ke depan.

Menurut Dawam Rahardjo, berdasarkan proses berpikir filsafati dan ilmiah, Pancasila dapat dibagi menjadi tiga bagian. Titik tolak ontologinya adalah ke-Tuhanan. Proses epistemologinya adalah trilogi kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan. Sedangkan tujuan aksiologinya adalah keadilan sosial (sosialistik). Itulah sebabnya, Dr Nurcholish Madjid mengatakan bahwa tujuan dari eksistensi negara Pancasila adalah mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam praktiknya, peta pergulatan politik di Indonesia menunjukkan ada 3 arus besar yang berebut mempengaruhi elite bangsa. Ketiga-tiganya memiliki kadar relijiusitas dan moralitas. Ketiga-tiganya merasa paling tepat untuk mensejahterakan warga negeri ini. Yang paling kecil adalah arus “negara syariat-agama” yang berorientasi kepada kelompok-kelompok radikal di Timur Tengah. Yang menengah adalah arus “nasionalis-sosialis” yang berorientasi kepada UUD 1945 asli. Yang paling kuat saat ini adalah arus “nasionalis-neolib” yang berorientasi kepada kekuatan kompeni internasional.

Khusus mengenai nasionalis-sosialis (Bung Karno memakai istilah "marhaenisme" bagi sosialisme Indonesia), seperti sudah dikemukakan di atas, para penganjur Ekonomi Pancasila tidak menyangkal pendapat UUD 1945 asli berhaluan sosialistik. Itu sebabnya, 2 arus kekuatan lainnya memprakarsai amandemen UUD 1945 agar bernuansa syariat dan neolib.

Sementara ini, ada kabar gembira dari hasil pileg, yakni DPR kita bakal menjadi parlemen kaum muda. Dalam percaturan politik kita, kategori kaum muda tidaklah harus berusia sekitar 30-an. Namun, sampai batas 50 tahun masih disebut kaum muda. Mungkin, inilah batas usia generasi tokoh-tokoh “lu lagi lu lagi” dalam gelanggang politik saat ini. Berdasarkan hal ini, maka akan ada 63% kaum muda di DPR baru hasil pileg 2009. Termasuk di antara mereka adalah para aktivis reformasi 1998.

Di tangan mereka yang berada di dalam parlemen dan para pejuang perubahan yang berada di luar parlemen, ada harapan besar untuk Indonesia RAYA 2020. Mari kita mengamati kiprah mereka. Di tangan merekalah ada harapan besar untuk memulihkan kedaulatan bangsa.

Dengan modal kedaulatan bangsa, akan ada kedaulatan pangan, kedaulatan energi, dan kemakmuran seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Merdeka! Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia… RAYA!

RAYA-kan 2020! Apakah yang dapat Anda bayangkan untuk Indonesia pada tahun 2020? Silakan tambahkan harapan Anda di sini.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.