Menegaskan Visi Ekonomi Pancasila

07 Juli 2009
[Artikel ini sudah saya kirim tiga tahun lalu dan dimuat di majalah nasional TRANSFORMASI]

REPUBLIK BBM dan meningkatnya rating pemirsanya agaknya menjadi manifestasi kekhawatiran banyak pihak yang jeli melihat sindrom “negara gagal”. Hal ini terlihat dari pesan yang ingin disampaikan oleh singkatan BBM dalam tayangan tersebut, yakni “benar-benar mabok”. Pemilihan singkatan BBM pun agaknya untuk menekankan merosotnya ekonomi Republik Indonesia sejak dinaikkannya harga BBM secara drastis dua kali dalam setahun. Katanya, untuk mengurangi subsidi dan mengikuti harga pasar.

(adj: Walaupun harga BBM sudah diturunkan, namun akibat-akibat dari kenaikan harga BBM itu masih terasa sampai saat ini, karena harga-harga lain tidak serta merta ikut turun).

Kelebihan yang dimiliki oleh sistem pasar bebas adalah mampu bergerak sendiri melalui mekanisme pasar. Kestabilan dapat dicapai karena, katanya, sistem pasar selalu bergerak menuju keseimbangan. Namun hal ini tidak melepaskannya dari kritik.

Kritik modern terhadapnya adalah bahwa sistem liberal ini memberi peluang kepada eksploitasi, monopoli, dan dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Sistem ini juga memberi peluang terhadap terjadinya kepincangan sosial dan ekonomi, bahkan kemiskinan. Kritik lainnya mengatakan bahwa sistem kapitalisme menimbulkan gejala kembar, yaitu development (perkembangan) dan underdevelopment (keterbelakangan) sekaligus.

Profesor Dr. Dawam Rahardjo sangat menaruh perhatian terhadap gagasan Ekonomi Pancasila. Cendekiawan muslim ini memiliki empat alasan yang ilmiah. Pertama, gagasan ini sejalan dengan pemikiran-pemikiran baru mengenai pembangunan internasional; karena itu, mengandung nilai aktualitas dan relevansi. Kedua, Ekonomi Pancasila adalah salah satu artikulasi gagasan jalan ketiga (the third way) yang mengatasi pemikiran kiri-kanan.

Ketiga, Pancasila dan Ekonomi Pancasila lahir dari pengalaman sejarah Indonesia dan sejarah rakyat yang tertindas. Keempat, gagasan Ekonomi Pancasila berakar dari pemikiran orang-orang Indonesia sendiri yaitu Mohammad Hatta, Emil Salim, Mubyarto, Sri-Edi Swasono, Sritua Arief, dan masih diikuti oleh ekonom muda seperti Revrisond Baswir (lintas generasi).

“Namun saya akui, bahwa konsep Ekonomi Pancasila dewasa ini seolah-olah kehilangan gemanya. Bahkan konsep ini telah dicibirkan sebagai konsep kuno yang ketinggalan zaman. Atau, mungkin orang enggan menyebut ‘Pancasila’ atau bahkan alergi karena Pancasila sebagai ideologi telah kehilangan pamornya,” blak-blakan Dawam mengungkap hal ini dalam Prakata bukunya, Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur.

Pemahaman mengenai sistem ekonomi Indonesia telah terdistorsi bahkan mengalami suatu pendangkalan tatkala sistem komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur dinyatakan runtuh. Dari situ telah ditarik kesimpulan keliru dan kelewat sederhana, yaitu bahwa sistm kapitalisme dianggap telah memenangkan secara total pertarungannya dengan sistem sosialime.

Dengan demikian, dari persepsi simplistik semacam ini, cukup banyak pula kaum elit Indonesia keliru menganggap perlunya Indonesia berkiblat kepada kapitalisme Barat berikut sistem pasar bebasnya dan dengan serta merta membanting stir untuk meninggalkan saja sistem ekonomi Indonesia yang berpaham “sosialistik” itu.

Padahal, ada fenomena konvergensi antara sistem kapitalisme dan komunisme. Sebenarnya hal ini telah diramalkan oleh Raymond Aron sejak tahun 1967. Dalam The Industrial Society (New York, Praeger) ia mengemukakannya dengan menarik: kelak anak-cucu Krushchev akan menjadi “kapitalis” dan anak cucu Kennedy akan menjadi “sosialis”.

Teori Adam Smith berdasar kepada perumpamaan homo oeconomicus (orang ekonomi) yang mengetahui keperluannya yang setinggi-tingginya, yang mengetahui kedudukan pasar, yang pandai berhitung secara ekonomi dan rasional, dapat menimbang sendiri apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan, dan kemudian ia sama kuat dan sama paham dengan lawannya.

Mohammad Hatta menegaskan bahwa orang ekonomi seperti yang digambarkan itu hanya ada dalam dunia pikiran, sebagai dasar bekerja bagi ilmuwan peneliti. Tidak ada dalam masyarakat yang lahir, yang menyatakan satu golongan kecil yang aktif dan bermodal cukup--yang memutuskan segala hal ekonomi--, dan satu golongan besar orang banyak yang pasif dan lambat--yang tiada mempunyai daya ekonomi, yang penghidupannya tergantung kepada keputusan golongan yang pertama.

Karena itulah, menurut Proklamator yang juga ahli ekonomi Indonesia ini, dalam praktik persaingan bebas tidak dijumpai maksimum kemakmuran yang diutamakan oleh Adam Smith. Malahan, pasar bebas memperbesar yang kuat, menghancurkan yang lemah.

George Soros juga menyorot hal ini secara tajam. Menurutnya, fundamentalisme pasar telah menjadi demikian kuatnya sehingga kekuatan politik manapun yang berani menentangnya akan dicap sebagai sentimental, tidak logis dan naif. Namun, sebenarnya, fundamentalisme pasar itu sendirilah yang naif dan tidak logis.

Dedengkot investor kelas dunia itu yakin bahwa apabila kekuatan pasar dibiarkan bebas secara penuh, meskipun di bidang murni ekonomi dan keuangan murni, maka kekuatan pasar ini akan menghasilkan kekacauan dan dapat pada akhirnya menuju pada hancurnya tatanan kapitalisme global. Kali ini, bahayanya bukan dari komunisme, tetapi dari fundamentalisme pasar.

Komunisme telah sama sekali menghapuskan mekanisme pasar dan memberlakukan pengendalian kolektif atas semua aktivitas ekonomi. Sebaliknya, fundamentalisme pasar berupaya menghapuskan keputusan kolektif dan memaksakan supremasi nilai-nilai pasar terhadap seluruh nilai-nilai politik dan sosial. Kedua ekstrim ini keliru. Yang kita perlukan adalah suatu keseimbangan yang tepat antara politik dan pasar, antara membuat aturan dan berperilaku menurut aturan. (The Crisis of Global Capitalism, New York: Public Affairs, 1998).

Membuat aturan yang sehat dan berperilaku menurut aturan, itulah yang tampaknya dilalaikan oleh para petinggi dan pelaku ekonomi bangsa kita. KKN is the roots of all evils, daya rusaknya sangat dahsyat, kata Kwik Kian Gie.

Pemurnian terhadap pengejawantahan Ekonomi Pancasila, yang berketuhanan dan menuju keadilan sosial, kiranya perlu ditegaskan pada saat ini. Tetapi, bagaimanakah rupa anatomi sistem campuran ideal ini? Sistem ekonomi campuran adalah hasil pemikiran yang empiris dan objektif, yaitu berakar pada sejarah dan dikondisikan oleh faktor-faktor sosial, politik, budaya, dan agama. Di dalam bukunya, Economics (McGraw-Hill), Paul A. Samuelson mengungkapkan ciri mixed economy adalah campuran antara competitive prive capitalism dan economic functioning of government atau economic control of the government.

Dalam perjalanan bangsa, agaknya kedua sistem ideal itu saling menarik perekonomian Indonesia. Mula-mula sistem liberal pada zaman kolonial, terutama sejak diberlakukannya UU Agraria 1870, sistem ekonomi Hindia Belanda didominasi oleh sistem liberal dengan campur tangan negara yang minimal. Namun, pada zaman pendudukan militer Jepang, sistem ekonomi bangsa bergerak ke arah sistem komando terpusat, walaupun sisa-sisa sistem pasar masih ada juga.

Pada masa sekitar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pendiri dan pemimpin Republik Indonesia merumuskan suatu sistem ekonomi yang cenderung seimbang. Sistem ekonomi, yang dalam penjelasan konstitusi disebut “demokrasi ekonomi”, itu tercermin dalam pasal-pasal ekonomi UUD 1945. Sistem tersebut mengenal tiga sektor ekonomi, yaitu sektor negara (tipe sosialis), sektor swasta (tipe kapitalis), dan sektor koperasi (tipe campuran). Emil Salim menyebutnya “Sistem Ekonomi Pancasila”. Istilah ini dengan sendirinya ingin membedakan dirinya dengan sistem sosialis dan sistem kapitalis.

Karakteristik sistem ekonomi Pancasila adalah ciri-ciri sistem ekonomi pasar dengan unsur perencanaan. Agar perekonomian bisa bergerak dengan sendirinya oleh satuan-satuan ekonomi mikro, kekebasan pasar perlu ditegakkan. Namun, tidak bebas sebebas-bebasnya tanpa kendali. Sehingga, sistem perencanaan juga diperlukan.

Dari gejala itu, menurut pandangan Emil salim, tampak seolah-olah sistem ekonomi bergerak bagai bandul jam. Dominannya satu sistem tidak sepenuhnya menghapus sistem yang lain.

Pada tahun 1950-an, sejalan dengan berkembangnya demokrasi parlementer, sistem liberal (sektor swasta) lebih berkembang. Namun, menjelang akhir dasawarsa itu, sistem ekonomi kembali bergerak ke sistem komando (sektor negara) dan akhirnya sistem ini lebih dominan dalam sistem Ekonomi Terpimpin pada awal dasawarsa 60-an.

Rezim Orde Baru yang awalnya bertujuan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen ternyata ditumbangkan karena KKN yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tidak ditegaskannya Ekonomi Pancasila mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan.

Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 belum memperlihatkan tanda-tanda kuat akan datangnya keadilan sosial. Bahkan sindrom “negara gagal” semakin membuat banyak pihak khawatir. Berbagai istilah dan konsep dicoba untuk dilontarkan. Ekonomi rakyat, ekonomi neoliberalisme, ekonomi syariah. Masing-masing mungkin punya kelebihannya sendiri. Tetapi, dapatkah konsep-konsep tersebut diterapkan tanpa dipaksakan dalam sebuah negara Pancasila yang bhinneka ini?

Empat tahun setelah reformasi politik bergulir, tepatnya pada tanggal 12 Agustus 2002, di Yogyakarta, ProfesorMubyarto mendeklarasikan berdirinya Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) di bawah naungan Universitas Gadjah Mada. Hasil kajiannya, antara lain diungkapkan oleh Dawam Rahardjo yang menjadi salah satu anggota Komisi Khusus Kajian Ekonomi Pancasila yang berkantor sama dengan PUSTEP-UGM, berikut ini.

Pertama, Ekonomi Pancasila pada dasarnya adalah ekonomi pasar, tetapi dalam prakteknya membutuhkan unsur pengendalian oleh negara dan perencanaan, walaupun perencanaan yang terdesentralisasi.

Kedua, Ekonomi Pancasila mengikuti nilai keserasian, keselarasan dan keseimbangan hidup dan menjauhkan diri dari segala bentuk ekstrimitas. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang dimaksud mencakup hubungan antara individu-masyarakat, manusia-alam, manusia-penciptanya, dan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat lainnya. Pokoknya mencakup keseimbangan hubungan vertikal dan horizontal.

Ketiga, ekonomi Pancasila dalam konteks Indonesia mengandung unsur kerakyatan. Kerakyatan di sini bisa berarti demokrasi, bisa pula populis. Dengan perkataan lain, ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang memperhatikan kepentingan dan memahami penderitaan rakyat kecil (petit peuple).

Keempat, ekonomi Pancasila mengandung nilai kemanusiaan (humanism) dengan konsekuensi, tidak memberikan toleransi terhadap cara produksi yang mengandung eksploitasi, penindasan, dan dominasi kepada sesama manusia.

Kelima, Ekonomi Pancasila berjiwa religius dan etis, yang mendasarkan diri pada ikhtiar manusia untuk mengubah nasibnya, tetapi jika usaha itu tidak berhasil, maka hal itu diterima sebagai takdir Ilahi yang harus diterima secara ikhlas.

Merujuk pasal 33 ayat 1 UUD 1945, khususnya mengenai asas kekeluargaan, pemerintah memandang penting peranan koperasi sebagai “wadah untuk memperjuangkan serta melindungi, terutama kepentingan rakyat kecil”. Koperasi sendiri sebagai lembaga ekonomi mencerminkan sebuah kepentingan kolektif (di RRC disebut sebagai sektor sosial) yang bisa menjadi instrumen partisipasi dan demokrasi ekonomi menuju kepada pemerataan pendapatan.

Dengan perkataan lain, koperasi mencerminkan tujuan keadilan sosial. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan bimbingan, pengawasan, fasilitas, dan perlindungan kepada koperasi. Sedangkan, perkembangan usaha swasta tidak boleh menyimpang dari asas demokrasi.

Sedangkan berdasar ideologi negara kita, berdasar undang-undang dasar kita, kita telah berketetapan untuk lebih menganut paham kolektivisme ekonomi dan kooperativisme, atau kebersamaan dan kekeluargaan berikut segala aspek kelembagaan yang hidup menyertainya. Kooperativisme telah berkembang sebagai gerakan koperasi yang mengglobal yang diwakili oleh the International Cooperative Alliance sebagai organisasi puncak bagi gerakannya sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.

Bagaimanapun juga cooperation merupakan bagian integral dari ilmu ekonomi modern, makin menjadi wacana, percaturan, dan kebutuhan. Makin memahami kelemahan pasar, makin menyadari perlunya pembatasan kompetisi, dan canggungnya self-interest behavior dalam kehidupan ekonomi, maka cooperation semakin memikat. Profesor Jochen Ropke, ahli koperasi dari Jerman, bahkan menyandingkan dan membandingkan Social Market Economy di Jerman dengan Ekonomi Pancasila.

Masih menurut Dawam Rahardjo, berdasarkan proses berpikir filsafati dan ilmiah, Pancasila dapat dibagi menjadi tiga bagian. Titik tolak ontologinya adalah ketuhanan. Proses epistemologinya adalah trilogi kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan. Sedangkan tujuan aksiologinya adalah keadilan sosial. Itulah maka Dr. Nurcholish Madjid mengatakan bahwa tujuan dari eksistensi negara Pancasila adalah mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nah, kalau hal itu ditegaskan sejak dulu, mungkin Kwik Kian Gie dalam Sarasehan “Keluar dari Krisis dan Sindrom Negara Gagal” tanggal 20 Mei 2005 tidak perlu lagi mempertanyakan, apakah kita mandiri dalam menentukan kebijakan ekonomi keuangan kita? Selama 60 tahun ini, kita maju atau mundur? Sudahkah (baca: kapankah, red.) kita makmur yang berkeadilan? (JS/AS)

Referensi:
-Ekonomi Pancasila, Dawam Rahardjo, PUSTEP-UGM, 2004
-Ekspose Ekonomika Globalisme, Sri-Edi Swasono, PUSTEP-UGM, 2003
-Pemberantasan Korupsi, Kwik Kian Gie, Edisi II, 2003

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.