Dua Dosa Penyebab Kemiskinan: Renungan Agustusan

20 Agustus 2009
Oleh Sansulung John Sum

64 tahun bukan usia yang muda lagi. Seharusnya, Indonesia sudah mapan pada usia “segitu”, apalagi dengan kekayaan alam yang dikaruniakan oleh Tuhan bagi bangsa kita. Kenyataannya, Indonesia masih menjadi negara pengimpor komoditas pangan sekalipun merupakan negara tropis terbesar kedua di dunia.

Jika dihitung berdasarkan ukuran Bank Dunia, masih ada 115 juta saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan (49% dari 235 juta penduduk). Bahkan, berdasarkan data BPS, 35 juta orang di antara mereka merupakan keluarga SANGAT miskin, yakni berpenghasilan hanya Rp 182.500,00 per keluarga per bulan.

Mengapa saudara/i kita itu terjerat kemiskinan?

Ada kemiskinan yang tidak disebabkan oleh dosa, misalnya kemiskinan yang dialami oleh Ayub. Ada juga kemiskinan yang disebabkan oleh dosa. Dalam wawancara dengan Tabloid Reformata tahun lalu, Stephen Tong menyebutkan ada dosa yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Saya setuju dengannya. Mengapa?

Pertama, dosa dari faktor internal, dosa si orang miskin itu sendiri, yaitu dosa kemalasan, boros, dan lain-lain. Ada orang menjadi miskin karena tidak mau menyangkal diri dan memikul salibnya dalam menghadapi kesulitan, yakni rajin bekerja, berusaha, dan berjuang. Ada orang miskin yang hanya memiliki kebiasaan meminta-minta kepada orang kaya. Orang miskin yang seperti itu harus bertobat.

Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya (Amsal 10:4). Janganlah menyukai tidur, supaya engkau tidak jatuh miskin, bukalah matamu dan engkau akan makan sampai kenyang (Amsal 21:13). Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin, dan kantuk membuat orang berpakaian compang-camping (Amsal 23:21).

Dosa kedua yang menyebabkan kemiskinan adalah dosa dari faktor eksternal, yaitu dosa ketidakadilan, keserakahan, dan lain-lain. Ada sebagian orang yang memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara, egois, dan tidak adil. Korupsi adalah salah satu kekejian yang harus diberantas. Lebih dari itu, Ed Silvoso, dalam rangkaian NPC beberapa tahun lalu, mengatakan bahwa seorang pengusaha haruslah ikut bertanggung jawab dalam kemerdekaan finansial karyawannya.

Janganlah memeras pekerja harian yang miskin dan menderita (Ulangan 24:14). Seorang pekerja patut mendapat upahnya (Lukas 10:7, Yakobus 5:4). Kita juga harus menghormati pekerja sebagai sesama manusia, ciptaan Tuhan, dan tidak merendahkannya dengan menganggapnya hanya sebagai alat (Maleakhi 2:10).

Seringkali, kita merasa sudah cukup memperhatikan orang miskin dengan memberikan sumbangan sekadarnya. Itu bagus. Namun, ada hal lain yang lebih mereka perlukan, yaitu memperoleh hak mereka. Ya, hak mereka atas kekayaan alam yang diberikan oleh Tuhan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin HAK mereka (Amsal 31:9).

John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World" menuliskan, “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel.

"Di seberang meja adalah orang-orang yang oleh Rockefeller disebut 'ekonoom-ekonoom Indonesia yang top'. Tim ini terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, mereka menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”

"Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler," kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. "Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.

"Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan.

"Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”

Baru-baru ini, Robert Reich menggambarkan beberapa efek negatif superkapitalisme: besarnya perbedaan pendapatan, ketidakstabilan komunitas, dan kerusakan lingkungan. Janganlah kita beranggapan bahwa perbedaan tajam dalam pendapatan memang sewajarnya begitu. Penulis buku Supercapitalism (2007) itu menampilkan data di AS mengenai indeks produktivitas dan indeks pendapatan masyarakat sejak tahun 1950.

Pada tahun itu, keduanya memiliki indeks 100, dan keduanya meningkat menjadi sekitar 200 pada tahun 1983 (sama-sama meningkat 100%). Lalu, pada tahun 2005, indeks produktivitas meningkat 70% dari 200 menjadi 340. Berbeda dengan indeks produktivitas, ternyata indeks pendapatan masyarakat hanya meningkat 35% dari 200 menjadi 270.

Dari sisi pendapatan, rasio pendapatan CEO dibanding pekerja biasa pada periode 1960-1980 sebesar 35x. Namun, pada tahun 2000-an, rasionya menjadi di atas 200x !! Reich berpendapat bahwa di kemudian hari perlu adanya regulasi pemerintah yang bisa mengatur DISTRIBUSI profit secara lebih merata di antara pemodal, pekerja, dan masyarakat umum.

Reich mensinyalir bahwa selama ini regulasi dan UU yang dikeluarkan pemerintah AS cenderung memihak korporasi bisnis, yang 80% profit jatuh ke tangan pemodal. Dua kelompok besar bertemu. Para korporasi menginginkan profit. Para politisi menginginkan kekuasaan. Reich memberi banyak contoh akan hal ini dalam bukunya, sehingga ia menyimpulkan inilah era kapitalisme menginvasi demokrasi, sehingga melahirkan superkapitalisme.

Bukankah hal yang mirip di Indonesia juga telah dijeritkan oleh Kwik Kian Gie? Kwik tak lelah menggugat regulasi pemerintah yang "melindungi" penjarahan kekayaan alam Indonesia oleh multi national company (kompeni multinasional). Jika Reich menggunakan istilah superkapitalisme, Kwik menggunakan kata yang populer pada masa pilpres lalu: neolib(eralisme).

"Indonesia sudah merdeka?", tanya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sebuah iklan layanan masyarakat. "Selama masih bercokol mental korup dan korupsi, JANGAN ANGGAP Indonesia sudah merdeka. Satukan tekad! Lawan korupsi! Merdekakan Indonesia dari belenggu korupsi!", tandas KPK.

Kembali kepada pernyataan Stephen Tong. Kemiskinan suatu negara diakibatkan oleh kegagalan mengelola dan mendistribusikan kekayaan dengan bijaksana. Apa gunanya jika negara yang beriman kepada Tuhan ternyata lebih korupsi daripada orang ateis? Pemerintah harus menjadi hamba rakyat dan hamba Tuhan. Jika ketidakadilan diberantas, maka negara ini akan menjadi kaya sekali. Merdeka! Kapan?

Referensi: Alkitab LAI, Tabloid Reformata, Forum Manajemen Prasetiya Mulya




0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.